Chapter 14
"K-Kapan aku pernah mengatakan itu...!"
Penyangkalan keras Aileen yang membuat kekesalan Violet memuncak.
Aileen telah melakukan hal yang sama untuk beberapa waktu lamanya.
Ketika Violet mengambil sebuah alat musik sebelumnya, Aileen dengan sengaja mulai mempelajari alat musik yang sama, menunjukkan kepada semua orang betapa ia lebih baik dari Violet.
Begitulah cara dia merebut pujian dari kakak-kakaknya yang mungkin akan diberikan kepada Violet. Tidak peduli apa pun jenis pelajaran yang ditekuni Violet, tidak peduli apa pun jenis hobi yang ia tekuni, hasilnya selalu sama setiap saat.
Apakah itu sebuah rencana yang disengaja, atau upaya untuk lebih dekat dengannya—apa sih tujuannya?
Aileen selalu mengatakan bahwa itu karena dia mencoba untuk lebih dekat dengan 'Violet'. Jadi, pada akhirnya, Violet berhenti mengandalkan pemikiran tersebut.
Karena sudah seperti itu, maka Aileen hanya perlu menjaga mulutnya.
Violet tidak bisa memahami pola pikir Aileen. Bagaimana mungkin ia ingin lebih dekat dengan orang yang konon terus menyiksanya?
"Ya, ya. Kamu diajari melukis ini oleh seorang guru, kan? Kamu melakukannya dengan baik dengan mengikuti arahan yang ada. Pekerjaan yang bagus. Patut dipuji, malahan."
Saat Violet mengatakan hal ini dengan senyum bengkok di bibirnya, ia memiringkan cangkir tehnya ke depan dan menumpahkan teh ke seluruh buku sketsa.
"Sekarang pergilah. Dan jangan pernah muncul di depanku lagi. Jika kamu datang ke tempat ini sekali lagi, hal berikutnya yang akan ditumpahkan teh adalah wajahmu."
"......"
Kemudian, dia tersenyum cerah.
Uap mulai mengepul dari buku sketsa, dan noda teh mulai menyebar lebih jauh ke seluruh halaman.
Karena dia tidak dapat memahami situasinya, Mary adalah satu-satunya orang yang menyaksikan adegan itu dengan ekspresi kosong di wajahnya.
"Apakah kamu tuli? Menyingkirlah dari hadapanku. Sekarang juga."
"Eh, hiic, hiic... aku-aku hanya ingin mendengar pujian darimu, darimu, Unnie... Kamu begitu jahat. Kamu selalu... selalu merendahkan aku, aku. Aku, aku hanya... "
Tetes, tetes. Tetesan transparan menetes dari mata hijau jernih Aileen.
Sejenak, Violet merenungkan apakah ia harus menuangkan sisa teh panasnya ke wajah itu. Namun akhirnya, ia melonggarkan genggamannya dan meletakkan cangkirnya.
"Karena Aileen akan pergi, antar dia sampai ke pintu utama. Pastikan juga untuk mengelap teh yang tumpah di lantai."
Saat Violet dengan singkat memberikan perintah ini, Mary dengan cepat tersentak kembali memperhatikan.
"Y-Ya!"
Sepertinya Aileen menolak untuk bergerak. Mary bergerak untuk menenangkan gadis yang menangis itu, namun yang Violet lakukan hanyalah berbalik dan meninggalkan mereka di belakangnya. Dia menekan pelipisnya dan kembali ke lantai atas menuju kamarnya.
Hal ini akan memperburuk reputasinya kembali.
Rumor akan merajalela di rumah utama besok.
Oh, Aileen yang baik hati dan seperti malaikat dengan susah payah berusaha menggambar sesuatu untuk kakak perempuannya, Violet, semua karena dia ingin mendekatinya. Namun, oh! Violet yang jahat menuangkan teh ke seluruh gambar-gambar itu dan bahkan sampai mengusir gadis itu.
Bahkan sebelum semua itu terjadi, Violet meninggalkan gadis kecil yang lemah itu di luar dan membuatnya menunggu di sana—dalam cuaca yang sangat dingin—selama empat jam sebelum mengizinkannya masuk.
Violet berpikir, haruskah ia menekan emosinya? Dia baik-baik saja saat melihat wajah orang-orang lain, tetapi saat wajah Aileen berada di hadapannya, rasanya mustahil untuk tetap tidak terganggu.
Violet menekan keinginan untuk menghela napas panjang.
Ia baru saja dekat dengan Mary, tapi sekarang gadis itu dihadapkan pada pemandangan seperti itu, tidak diragukan lagi akan menjadi canggung lagi mulai besok dan seterusnya.
Seorang manusia tidak akan bisa terus hidup tanpa adanya suatu interaksi. Emosi mengalir seperti air. Jika terjebak di suatu tempat tanpa arah untuk mengalir, semuanya hanya akan menumpuk.
Berapa lama ia bisa bertahan hidup seperti ini, hanya fokus melukis sendirian, tidak berbicara dengan siapa pun?
Violet mulai menghitung kapan tepatnya dia akan menjadi gila, tapi dia berhenti. Dia mungkin sudah gila saat ini.
Dia berbaring di tempat tidur sekarang, tapi kebenciannya yang membara tidak kunjung mereda. Violet mencoba mengatur nafasnya beberapa kali.
Kalau saja dia bisa mengekspresikan perasaannya dengan warna, maka warnanya akan menjadi hitam pekat, air keruh, sampai-sampai tak seorang pun akan mendekatinya.
Rasa letih yang luar biasa melonjak di dalam dirinya bagaikan ombak. Namun pada saat yang sama, juga muncul dorongan tertentu.
Dengan perasaan ini sebagai daya dorongnya, karya seperti apa yang akan dihasilkan jika ia melukis sekarang?
Saat ia merenungkan satu demi satu, ia segera mendengar ketukan ragu-ragu di pintu kamarnya.
"... Masuklah."
Saat Violet mengizinkannya masuk, Mary masuk melalui ambang pintu. Di tangan Mary terdapat sebuah nampan, dan di atasnya terdapat kue tart manis dan minuman.
"Umm, aku dengar kalau makan yang manis-manis itu bagus saat marah. ... Apa anda baik-baik saja, Nona?"
"... Apa kamu bertanya bagaimana perasaanku?"
"Ya? Y-Ya! Anda pasti kesal, dan... aku-aku pasti ikut campur yang tidak perlu—Maaf, aku akan mengambilnya kembali!"
"Sudahlah, tidak apa-apa. Bawalah kemari."
Violet sejenak tertegun oleh respon yang tak terduga, namun, tatapannya segera melembut saat ia menatap gadis kecil itu.
Merasa malu, Mary menggeliat sedikit dan mengalihkan pandangannya.
Dia membawa nampan itu ke meja terdekat dan menatap Violet lagi. Sepertinya ada yang ingin dikatakannya.
"I-Ini lebih enak jika anda makan dan minum ini sebelum dingin!"
"... Terima kasih."
"......"
"......"
Keheningan sejenak kemudian menyelimuti ruangan. Mary dengan mantap tetap berada di dalam kamar Violet, masih mengukur suasana hatinya.
Memang benar Violet berterima kasih pada gadis itu atas hidangannya, tapi ia tidak benar-benar berniat untuk memakan atau meminumnya. Bagaimanapun, dia akhirnya angkat bicara.
"... Apa kamu tidak takut padaku?"
"Hah? Kenapa?"
"Kenapa, kamu bertanya?... Kamu melihat apa yang terjadi sebelumnya."
"Tapi... Nona Aileen meremehkanmu lebih dulu, Nona."
"......"
Mendengar jawaban cepat dari gadis itu, Violet terdiam.
Mary memotong kue tart itu menjadi potongan-potongan seukuran sekali gigit dan menyodorkan piringnya kepada Violet.
Masih bingung dan tidak dapat memahami situasinya, Violet tanpa sadar terus memakan kue tart itu.
"... Menurutmu, mengapa Aileen yang pertama kali bertindak salah?"